Berbicara tentang kaum wanita dalam kepemimpinan ibadah, ada tiga bagian Alkitab yang selalu menjadi bahan perdebatan di antara orang Kristen. Ayat-ayat tersebut adalah: 1Kor 11:5; 14:34 dan 1Tim 2:12. Hal-hal yang mereka perdebatkan adalah:
1. Bolehkah kaum wanita mengajar di dalam ibadah?
2. Bolehkah kaum wanita menjadi pemimpin di dalam ibadah?
Karena interpretasi-interpretasi yang berbeda terhadap ayat-ayat bersangkutan, maka selama beberapa abad yang lalu kaum wanita telah menderita banyak diskriminasi dalam pelayanan ibadah, banyak dokumentasi yang membuktikan hal-hal tersebut.
Ada beberapa argumentasi yang akan kita bahas:
1."Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa dan bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya..." (1Kor 11:5). Menurut adat masyarakat sewaktu Paulus menulis surat ini, wanita-wanita yang sopan harus bertudung sewaktu mereka berada di tempat umum. Ayat ini ditujukan kepada wanita-wanita yang memimpin doa atau mengajar dalam kebaktian ibadah dalam gereja. Hal ini menunjukkan bahwa Paulus tidak melarang wanita-wanita yang mengajar atau berkotbah di dalam gereja, asal mereka berdandan dan bertindak dengan sopan, yang dapat diterima oleh umat.
2."Sama seperti dalam jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara ..." (1Kor 14:34). Ayat ini seolah-olah melarang kaum wanita untuk mengajar atau berkotbah dalam gereja. Tetapi janganlah kita tergesa-gesa mengambil kesimpulan yang sedemikian sebelum memperhatikan konteks yang terdapat dalam ayat berikutnya 1Kor 14:35 mengatakan:"Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakan kepada suaminya di rumah ..." maka perkataan "tidak diperbolehkan untuk berbicara" yang terdapat dalam ayat 34, adalah "menanyakan" sesuatu sewaktu kebaktian berlangsung. Kalau di tengah-tengah kebaktian mereka dengan spontan mengacungkan tangan untuk bertanya, hal ini akan mengganggu suasana kebaktian. Interprestasi sedemikian dapat kita yakinkan dengan 1Kor 14:40, di mana Paulus mengatakan: "Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur." Jadi maksud Paulus adalah demikian: Jangan kebaktian dalam ibadah gereja diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan kaum wanita (1Kor 14:34-35) ataupun diganggu oleh pemakaian "bahasa roh" (1Kor 14:39). Dengan demikian kita mengetahui, pada hakekatnya ayat yang tersebut di atas bukan larangan Paulus kepada wanita untuk berdoa, mengajar dan berkhotbah dalam kebaktian dalam gereja. Konteks ayat tersebut adalah membicarakan tentang "ketertiban" dalam kebaktian. Seperti halnya dengan bahasa roh, tetapi harus ada ketertiban dalam pemakaian bahasa roh.
3."Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki, hendaklah ia berdiam diri"(1Tim 2:12). Kami yakin ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan situasi yang dialami oleh Timotius dalam gerejanya. Tentunya Timotius sering menghadapi seorang wanita yang "bossy" dalam gereja, sehingga Paulus tidak mengizinkan wanita tersebut menguasai Timotius. Kalau ayat ini kita ambil sebagai patokan bahwa wanita pada umumnya tidak boleh mengajar dan tidak boleh menjadi pemimpin, maka hal ini akan bertentangan dengan ayat-ayat yang lain, misalnya:
Debora adalah seorang hakim yang memerintah orang Israel(Hak 4:4-5).
Hulda adalah seorang nabiah (nabi perempuan) di Yerusalem(2Raj 22:14; 2Taw 34:22).
Hana adalah seorang nabiah yang beribadah dengan setia di Bait Allah (Luk 2:36-39).
Priskilla bersama suaminya adalah rekan kerja Paulus yang setia(Kis 18:18) dan mereka sanggup menjelaskan Firman Tuhan kepada Apolos (Kis 18:26). Bapa gereja yang bernama John Chryssostom(337-407 A.D.), berpendapat bahwa nama Priskila selalu disebutkan terlebih dahulu, sebab Priskila lebih unggul dalam pelayanan dan lebih dihormati oleh anggota-anggota jemaat(Kis 18:18, 26; Rom 16:3; 2Tim 4:19).
Febe juga sebagai rekan Paulus yang melayani di Kengkrea(Rom 16:1).
Euodia dan Sintikhe pernah berjuang dengan Paulus dalam pekabaran Injil (Filip 4:2-3).
Belakangan ini banyak gereja di benua Amerika beranggapan bahwa pemakaian "exclusia language" (misalnya: policeman) adalah diskriminasi terhadap kaum wanita, sehingga mereka menganjurkan pemakaian "inclusive language" (misalnya: police officer). Bagaimana tanggapan gereja kita terhadap hal ini? Pada hakekatnya kita tidak menentang anjuran ini, tetapi kita pun tidak menentang pemakaian"exclusive language." Jadi kita bersikap netral terhadap isu tersebut, tergantung pemakai bahasa secara individual.
Tetapi hal yang kita anjurkan adalah berdasarkan firman Tuhan yang tertulis dalam Galatia 3:28 "dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus." Ayat ini sekaligus menentang diskriminasi terhadap suku bangsa, kasta dan perbedaan kelamin.
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah kita bahas tadi, kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Dalam pelayanan dan jabatan ibadah dalam gereja tidak boleh terjadi diskriminasi terhadap perbedaan kelamin. Tuhan pun memanggil wanita terjun dalam pelayanan sebagai majelis, tua-tua, misionari dan diakonia.
Kaum wanita hendaknya melayani dalam ibadah dalam gereja menurut panggilan dan karunia yang Tuhan berikan, misalnya dalam suatu ibadah ada seorang saudari yang berkarunia untuk mengajar, hendaknya ia diberi kesempatan untuk mengajar.
Sesungguhnya kita mempunyai pandangan yang Alkitabiah terhadap segala isu yang sedang bergolak dalam masyarakat kita pada umumnya dan khususnya tentang kaum wanita dalam pelayanan gereja. Sekaligus kita anjurkan bagi kaum wanita yang mempunyai talenta rohaniah untuk terjun ke dalam pelayanan gereja secara aktif dan produktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar