Senin, 13 November 2017

PEMBERONTAKAN



Ketika tulisan ini dibuat, keadaan di Provinsi Papua dan Papua Barat sedang begitu memprihatinkan. Ratusan Rumah hunian Masyarakat, Gedung Gereja serta Gedung Sekolah dibakar, dan pertikaian antara TPN-OPM (Tentara Pembebasan National – Oraganisasi Papua Merdeka) dengan pemerintah Republik Indonesia (TNI-PORLI) terus memanas. Semua pihak mengharapkan agar pertikaian ini segera berakhir. Namun, bila kita bercermin diri, ternyata menyingkirkan pemberontakan tidak semudah membalikkan telapak tangan. 

Kitab Yesaya dimulai dengan suasana yang panas, juga suasana pemberontakan. Yehuda sebagai umat Allah memberontak terhadap Yahweh, Allah yang mengasihi mereka. Mereka lebih mempercayai pertolongan Asyur daripada Yahweh. Pemberontakan politis ini sebenarnya berakar dalam pemberontakan yang sifatnya spiritual.

Dalam Yesaya 1:1, ada 4 raja yang disebutkan. Namun, hanya Ahas dan Hizkia yang penting diperhatikan. Ahas mewakili posisi raja yang lemah dan cenderung tidak setia. Anaknya, Hizkia, mewakili posisi sebaliknya: orang yang dapat dipercaya dan menaati Allah. Dalam jatuh-bangun Yehuda inilah Yesaya muncul sebagai nabi, yang berdasarkan penglihatan surgawi, menyerukan penghakiman bagi Yehuda. Penghakiman tersebut datang karena Israel berdosa dan memberontak (Yesaya 1:4-5). Meskipun Yahweh adalah Allah yang dekat dan intim dengan umat-Nya, Ia tak dapat melihat kemunafikan dan kenajisan manusia. Dalam kehidupan pribadi dan publik, tidak ada yang benar sama sekali dalam kehidupan bangsa Yehuda, semuanya seperti borok. Allah menjatuhkan hukuman-Nya kepada Yehuda dengan memutuskan untuk tidak lagi menerima ibadah di Bait Allah karena dijalankan dengan rutinitas dan tanpa makna (Yesaya 1:11-15). Padahal ibadah Yehuda seharusnya diwujudkan secara total dan serius melalui pertobatan dalam hidup keseharian mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar