Ketika tulisan ini dibuat, keadaan di Provinsi Papua
dan Papua Barat sedang begitu memprihatinkan. Ratusan Rumah hunian Masyarakat,
Gedung Gereja serta Gedung Sekolah dibakar, dan pertikaian antara TPN-OPM (Tentara
Pembebasan National – Oraganisasi Papua Merdeka) dengan pemerintah Republik Indonesia
(TNI-PORLI) terus memanas. Semua pihak mengharapkan agar pertikaian ini segera
berakhir. Namun, bila kita bercermin diri, ternyata menyingkirkan pemberontakan
tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kitab Yesaya dimulai dengan suasana yang panas, juga
suasana pemberontakan. Yehuda sebagai umat Allah memberontak terhadap Yahweh,
Allah yang mengasihi mereka. Mereka lebih mempercayai pertolongan Asyur
daripada Yahweh. Pemberontakan politis ini sebenarnya berakar dalam
pemberontakan yang sifatnya spiritual.
Dalam Yesaya 1:1, ada 4 raja yang disebutkan. Namun,
hanya Ahas dan Hizkia yang penting diperhatikan. Ahas mewakili posisi raja yang
lemah dan cenderung tidak setia. Anaknya, Hizkia, mewakili posisi sebaliknya:
orang yang dapat dipercaya dan menaati Allah. Dalam jatuh-bangun Yehuda inilah
Yesaya muncul sebagai nabi, yang berdasarkan penglihatan surgawi, menyerukan
penghakiman bagi Yehuda. Penghakiman tersebut datang karena Israel berdosa dan
memberontak (Yesaya 1:4-5). Meskipun Yahweh adalah Allah yang dekat dan intim
dengan umat-Nya, Ia tak dapat melihat kemunafikan dan kenajisan manusia. Dalam
kehidupan pribadi dan publik, tidak ada yang benar sama sekali dalam kehidupan
bangsa Yehuda, semuanya seperti borok. Allah menjatuhkan hukuman-Nya kepada
Yehuda dengan memutuskan untuk tidak lagi menerima ibadah di Bait Allah karena
dijalankan dengan rutinitas dan tanpa makna (Yesaya 1:11-15). Padahal ibadah
Yehuda seharusnya diwujudkan secara total dan serius melalui pertobatan dalam
hidup keseharian mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar