Benci tapi rindu mungkin tepat menggambarkan orang yang sakit hati karena dikhianati kekasihnya, namun pada saat yang sama masih mengasihi kekasihnya itu. Meski ungkapan ini tidak sepenuhnya tepat dikenakan pada Tuhan, namun kini kita melihat kerinduan hati Tuhan yang terdalam di balik murka-Nya atas umat yang berkhianat.
Allah bertalu-talu membujuk umat-Nya agar meninggalkan berhala dan kembali kepada-Nya, bertobat dengan tulus dari dalam hati (Yeremia 4:1-4). Jika saja Israel menyambut bujukan Allah tersebut, niscaya hubungan mesra umat dengan Allah akan pulih kembali (Yeremia 4:18). Bangsa-bangsa akan terimbas damai dari Tuhan (2b), bahkan pembaruan ekonomi akan terjadi (3b). Sayang bujukan ini tetap saja mereka abaikan.
Rupanya hanya dengan pukulan keraslah mereka baru bisa sadar dan kapok. Itu yang "terpaksa" Allah lakukan atas mereka dengan membiarkan musuh mereka menjajah dan menjarah (Yeremia 4:5-13). Pukulan keras yang berupa "hukuman" bukan lagi sekadar pemurnian (Yeremia 4:11-12), tetapi cara terakhir Allah agar umat-Nya bertobat. Saya membayangkan Allah menitikkan air mata kepedihan, kegundahan, duka mendalam, oleh karena Ia harus menurunkan tangan keras-Nya untuk mencegah umat-Nya binasa.
Kasih orang tua yang panjang sabar ada batasnya. Kadang kita melihat di koran, pernyataan orang tua yang memutus hubungan dengan seorang anaknya. Kita tidak tahu apakah di hati kecil mereka, orang tua itu berharap anak tersebut berinisiatif datang kepadanya dan meminta ampun. Namun hati Bapa Surgawi jauh lebih lapang daripada orang tua mana pun. Dia bahkan menyerahkan Anak tunggal-Nya agar kita tidak menerima hukuman kekal akibat kebebalan dosa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar