
Hubungan mereka dengan Allah putus; mereka
sadar tentang itu, lalu terjadilah keterasingan dan perasaan tertuduh. Mereka
lari dari Allah, berusaha menyembunyikan diri agar mereka tidak usah menghadapi
akibat-akibat tindakan mereka. Tentu saja, Allah berhasil menemukan mereka.
Mereka berusaha menyangkal pertanggungan jawab mereka.
Adam menyalahkan Hawa ("Perempuan
yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku,
maka kumakan."), dan Hawa menyalahkan ular ("Ular itu yang
memperdayakan aku, maka kumakan.").
Mereka telah berusaha menutupi keadaan
mereka dengan membuat cawat dari daun pohon ara, tetapi Allah mengepung mereka
dengan pertanyaan: "Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau
telanjang?" Allah memaksa mereka untuk membereskan masalah rasa bersalah
mereka. Korban tebusan pun kemudian dibuat untuk dosa mereka, sebagai dasar
dari prinsip korban tebusan seterusnya(Kej 3:21).
Rasa bersalah yang tidak disebabkan oleh
dosa, biasanya berhubungan dengan gangguan emosional yang berasal dari
pengalaman-pengalaman negatif, khususnya di masa kecil. Bahkan orang Kristen
yang sudah memiliki keyakinan bahwa Allah telah mengampuni mereka dan bahwa
mereka adalah anak-anak-Nya pun, masih bisa mengalami "rasa bersalah"
yang keliru ini.
Orang sedemikian biasanya memiliki citra
diri yang rendah, selalu merasa kurang (tidak pernah benar dan tak mampu),
menderita depresi, dan sebagainya. Mereka tidak pernah bebas dari rasa bersalah
ini, walaupun mereka mencarinya, persis seperti Esau yang "tidak beroleh
kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan
mencucurkan air mata." (Ibr 12:17).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar